Cerpen : cita – cita


Aku masih bocah. Baru menduduki bangku SMP kelas 1.

Seorang guru berdiri didepan kelas, Bu Rea namanya, guru Bahasa Jepang. Dia memakai setelan baju yang anggun. Corak batik modern terdapat di saku bajunya, menggunakan kulot yang selaras dengan hijabnya menambah enak dipandang mata. Aku suka seni.

Dia baru saja masuk 3 menit yang lalu, sedang berceramah asik didepan kelas. Aku mengamatinya. Tidak seheboh temanku yang lain.
“Bu Rea itu.. buat aku jadi semangat dan kata-katanya itu luar biasa” begitu kata Antonius, temanku.

Aku suka dengan keceriaan yang bu Rea hadirkan setiap dia mengajar, sungguh aku menghargainya. Hanya saja mungkin ada kesalahan, padaku atau padanya, aku juga tak yakin.

--------

Tahun berganti tahun. Sekarang aku memakai seragam putih abu-abu, yang katanya masa-masa indah kehidupan, masa-masa yang takkan pernah terlupakan. Oh ya? Sayangnya aku sudah kelas 12 dan biasa saja. Aku lebih menyukai masa SMP dimana anak-anak polos berbaur dengan manis tanpa kenal pendusta, penikung, penjilat, ataupun cewek-cewek yang belum pake riasan menor di wajah, haha.
    
Namaku Raka, Raka Antrio. Beberapa orang memanggilku Rio, atau An, tapi aku lebih suka dipanggil Raka. Ngomongin nama, aku jadi teringat Gea, dulunya temanku. Anaknya cantik dan imut. Dia memanggilku Trio, menyebalkan, tapi aku menyukainya. Dia selalu membuatku seperti membeku, atau berdebar-debar, padahal aku waktu itu masih bocah, kelas 2 SMP. Sekarang kami di SMA yang sama, sekelas dan sebangku. Dia banyak berubah, sekarang lebih anggun, tapi tetap cerewet. Dan, Sekarang dia pacarku.

Kepada Gea aku suka membagikan isi pemikiran ataupun cerita-cerita kehidupanku. Dia pendengar yang baik, walaupun buka perespon yang hebat. Aku menyayanginya. Apakah rasa sayang adalah sebuah seni?

Aku suka seni, melukis hobiku. Tapi, aku juga suka hal lain, seperti matematika dan ilmu logika, juga sains. Gea bilang aku rakus ilmu, tapi aku merasa aku bukan apa-apa. Bahkan satu hal yang aku tidak pernah tau, cita-cita ku. Aku hanya mengalir mengikuti apa yang otak ku ingin isi. Aku tidak menuntut tuk makan sebanyak mungkin ilmu A atau B. Aku hanya memfasilitasi keinginan otak ku saja. Tapi, hal ini membingungkanku.

Cerita temanku Fatih, melanjutkan sekolah pilot, karena cita-citanya dari SD. Atau Luis yang mati-matian belajar tuk bisa masuk perguruan tinggi mengambil hukum dan nantinya mengarah pada jaksa. Aku jadi teringat pada Bu Rea, yang tiap masuk ke kelasku tidak bosan memotivasi anak muridnya tuk menggapai cita-citanya. Aku punya cita-cita yaitu jadi orang sukses. Aku menyukai dan menikmati setiap ilmu. Bagiku ilmu itu luar biasa indahnya, apakah ilmu sebuah seni?

Aku percaya satu hal, semua telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Cita-cita adalah sebuah penyemangat. Aku takut bercita-cita luar biasa yang nantinya hanya sia-sia. Aku memiliki penyemangat dengan hal lain, seperti orang-orang yang menyayangiku, temanku yang luar biasa mendukung aku, dan keluarga yang sangat mencintaiku. Aku jadi apa? kuserahkan saja padaNya. Ilmu itu luar biasa hebatnya, aku sangat mencintainya.





bella